“Aku adalah tempat pelarian. Aku menawarkan kebebasan. Dan aku menunjukkan sebuah perjalanan yang panjang untuk siapa pun yang mau dan siap berjuang. Berlarilah padaku, lalu kenali siapa aku. Dengan begitulah kau bisa menyebut namaku, sebut aku Tangier.”
Iya, memang seperti itu gambaran kota Tangier pada tahun 1924 hingga 1956. Sebuah tempat yang dijadikan sebagai Zona Internasional, dan diatur secara terpisah dari bagian Maroko. Jadi, apa arti Zona Internasional itu sendiri? Kenapa disebut sebagai tempat pelarian? Dan siapa saja yang berjuang dan berlabuh padanya?
Tapi, percayakah jika Interzone Tangier berkaitan erat dengan segala bentuk kejahatan dan kekerasan yang memilukan? Percayakah jika ia adalah paradoks kota yang misterius, eksotis juga pseudo-orientalis?
Maka, bijaklah menuntaskan sesuatu yang telah kamu mulai, dan jangan berhenti sia-sia tanpa sedikit pun ada yang membekas, selamat membaca.
John Harlan Hughes dalam novelnya “Dead In Tangier” menjelaskan tentang bagaimana Interzone Tangier ini dibentuk dan diatur. Adalah Britania, Prancis, dan Spanyol yang mempunyai satu pandangan bahwa Tangier adalah kota dengan pelabuhan yang sangat strategis, yang bisa dikelola dan diatur oleh kekuatan gabungan secara internasional (disebut dengan Konvensi Internasional), di samping sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan perselisihan di antara mereka.
Maka dengan hati-hati, mereka kemudian menciptakan Zona Internasional Tangier, yang artinya ia menjadi zona netral yang keadministrasiannya dibagikan kepada Britania, Prancis, Spanyol, Portugal, Italia, Swedia, Belgia, Belanda, Amerika (setelah Perang Dunia II) dan Maroko. Dan begitulah John melihat Interzone Tangier dengan luas wilayah 375 kilometer persegi ini menjadi sangat unik. Karena ia bukan sebuah koloni dan tidak juga sebuah Free City seperti Danzig, atau sebuah konsesi internasional seperti Shanghai.
Dalam masa memabukkan inilah, Tangier mendapatkan reputasi di Barat sebagai surga kebebasan kosmopolitan. Khususnya bagi penjahat, mata-mata, pengusaha, dan petualang, bahkan bagi komunitas seniman dan penulis yang melihatnya sebagai surga seni. Sebut saja Paul Bowles, Tennese Williams, dan Jack Kerouac, para tokoh sastrawan abad kedua puluh yang terpikat dan memilih untuk menghabiskan hidupnya di Tangier.
Mereka datang dengan pelarian dari kehidupan Amerika yang monoton, mereka datang dengan alasan pengasingan karena arus politik, mereka pun datang dengan pelarian untuk mencari inspirasi. Atau sebutlah pribumi Tangier sendiri Mohamed Choukri, sastrawan Maroko yang menjadi sahabat dekat mereka, dan saling mengagumi. Tentu pula dengan kisah perjuangan dan pelariannya. Benar sekali, merekalah yang mewarnai dunia sastra kala itu, dan merekalah yang dianggap sebagai sastrawan yang paling berbakat pada masanya.
Paul Bowles (1910-1999) merupakan seorang komposer dan penulis kelahiran New York, yang memulai petualangan pertamanya di Tangier pada tahun 1931. Ia datang dengan membawa piano yang harus diangkut oleh keledai tak bersemangat, lalu tinggal di rumah sewaan di kota pelabuhan ini. Untuk kemudian memutuskan untuk menetap secara permanen di Tangier pada 1947. Sebelumnya, ia memang sangat mencintai perjalanan dan penjelajahan. Ia bahkan berangkat ke Eropa tanpa pernah memberi tahu orang tuanya tentang rencananya. Berlanjut ke Afrika ia akhirnya jatuh cinta pada Maroko, meski beberapa kali ia juga masih menjelajahi beberapa negara di Asia.
Dan setelah benar-benar menetap di Tangier, ia akhirnya mengabdikan dirinya untuk menyalin dan mengarsipkan banyak cerita lisan dari bahasa Arab ke bahasa Inggris. Ia jugalah yang menerjemahkan buku pertama Mohamed Choukri, “For Bread Alone”. Dan buku lain karyanya sendiri yang tak kalah masyhur seperti “The Sheltering Sky”, “Let It Come Down”, “The Spider House” dan masih banyak lagi.
Berbeda dengan sahabatnya, Mohamed Choukri lahir di daerah pegunungan Rif Tangier pada 1935. Ia berbakat dan diakui setelah berjuang dalam kehidupan yang keras di jalanan Tangier. Ia cemerlang dan berani. Sampai-sampai roman otobiografinya dilarang beredar oleh negaranya dan baru diizinkan kembali setelah beberapa tahun kemudian.
Dan jika menilik alasan kenapa pelarangan itu ada, dapat dipastikan itu karena bahasa dan cerita Choukri yang begitu gamblang dengan dibiarkan apa adanya, sudah dibocorkan di atas bahwa Interzone Tangier sangat erat kaitannya dengan kekerasan, dan begitulah ia hidup dan bertahan, pun begitulah ia tidak disukai oleh kalangan agamis atau siapa pun yang kontra dengannya, dan tentunya kamu yang harus memutuskan untuk bagaimana bersikap, menganggapnya ada atau mengabaikan tidak peduli, terserah.
Choukri kala itu hanyalah seorang bocah belia yang hidup di dalam keluarga yang miskin dan kekurangan. Dan entah bagaimana lagi rasa keputus asaannya waktu itu, ia akhirnya memutuskan untuk melarikan diri dari keluarganya. Ia memilih untuk hidup lebih keras dan lebih berbahaya di jalanan Tangier, alih-alih pergi jauh dari kotanya.
Ia berjuang dan bertahan. Ia tak mengenyam pendidikan, tapi ia lebih sibuk mencari sepotong roti untuk ia makan. Ia bahkan rela terjun ke air kotor untuk menemukan sepotong rotinya. Ia terkadang suka mengkhayalkan gunung-gunung roti, terkadang ia pun ingin mengenal huruf-huruf, tapi ia harus lebih dari berjuang. Tidak peduli mencopet atau melacurkan dirinya pada homoseksualitas. Ia benar melakukan apa pun.
Sejauh apa ia berlari dan terjatuh lalu terluka, sekuat ia lah saat membangun dirinya dalam penjara karena kejahatannya. Pada 20 tahun usianya dipenjara, ia memulai untuk belajar, menghafal dengan susah payah huruf-huruf yang ia tidak pernah tau. Lalu setelah bebas, ia memasuki pendidikan sekolah tingkat dasar bersama anak-anak. Masih lekat dengan kehidupan jalanannya, menggelandang dan sesekali memabukkan diri. Untuk kemudian ia menjadi penulis yang dianugerahi penghargaan oleh Perguruan Tinggi Ibn Batutah Tangier, dan penghargaan internasional Neustadt Kesusastraan oleh Universitas Oklahma Amerika Serikat. Dan dianggap sebagai salah satu intelektual Maroko yang penuh kontroversi.
Kini, ia dikenang oleh kalangan seniman dan sastrawan. Ia meninggal pada 15 November 2003 di Rabat karena kanker tenggorokan, sementara sahabatnya Paul Bowles meninggal pada 18 November 1999 di Tangier karena gagal jantung.
Sebuah perjalanan yang begitu panjang. Dan dengan ini, usailah sudah pelarian mereka. Ulasan kisahnya dengan singkat diceritakan oleh Sigit Susanto dalam bukunya “Menyusuri Lorong Dunia: Perjalanan Jilid I” atau ulasan yang agaknya panjang juga telah dirampungkan oleh Nurhayati pada skripsinya dengan judul “Kajian Psikoanalisis Tokoh Utama Pada Roman “Le Pain Nu” Karya Mohamed Choukri”.
“L’effort physique est aisé au qué l’effort de pensée” –Mohamed Choukri.
Terbaiq😘😘