Ruang putih dengan interior serba putih itu menemani lamunanku. Sungguh sangat membosankannya ruangan ini. Setiap saat tak pernah berubah baik interior, tata letak, bahkan aku yang selalu ada di sana. Sampai seseorang yang mengenakan pakaian serba putih itu masuk ke dalamnya seraya menyambut hangat dengan senyum merekah yang membuyarkan lamunanku.
“Hai Alex..” ucapnya seraya menepuk bahuku lembut.
Sedang Aku hanya bergeming tak menanggapi sapaanya yang membosankan itu. Terhitung untuk kesekian kalinya aku bertemu dengannya. Dokter Shina. Seseorang dengan kemampuan mendengarkan yang sangat baik. Dialah yang selalu mengunjungiku dan tempat membosankan ini.
“Apa yang menarik kali ini untuk kau ceritakan? Aku siap mendengarkanmu” lanjutnya.
Namun aku tetap tidak menanggapinya sedikitpun dan melanjutkan lamunanku. Selang beberapa saat Ia pun membuyarkan lamunanku, lagi.
‘’Hey! Ayolah aku tak sabar mendengar ceritamu yang menarik itu” serunya yang tak sabar menungguku tuk buka suara.
“Oke, baiklah. Tolong simak dengan baik dan jangan menghentikanku dalam bercerita karena aku tak suka disela ketika bercerita. Simak baik-baik dokter Shina” ucapku sambil membenahi posisiku, tidur terlentang dengan mata menerawang ke atas dan siap untuk bercerita. Dengan dokter Shina dan voice recorder yang selalu menemaninya saat berkunjung ke ruangan ini juga telah siap mendengarkan. Ia mendudukkan diri di kursi dekat tempatku berbaring.
Minggu, 14 februari 2010
Pagi yang cerah menyambut waktu weekendku kali ini. Perlahan, aku membuka mata yang enggan terbuka dan mendapatkan kesadaranku pulih setelah tidur panjang semalaman. Sayup-sayup terdengar suara ibuku memanggilku entah yang keberapa kalinya agar aku bisa sarapan bersama keluarga kecilku.
“Alex, ayo bangun nak. Waktunya sarapan” Lantang ibuku memanggil namaku.
Tak butuh waktu lama karena notabennya aku sudah sadar sepenuhnya, aku pun beranjak dari tempat nyaman itu dan berlari menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Selang beberapa menit kemudian aku pun sudah sampai di ruang makan tempat biasa kita berkumpul, seperti saat ini.
“Adakah yang ingat hari apa ini? ‘’ Ayahku membuka obrolan setelah semua makanan tersaji di piring kita masing-masing.
“Ayolah ayah, kita semua tahu hari ini hari minggu. Lihatlah, kita sarapan dengan santai tanpa seragam ataupun pakaian kantor ayah itu.” Jawabku acuh pada pertanyaan ayah yang menurutku sangat tidak menarik itu.
“Apa kau tak tahu ini tanggal berapa? Bulan apa ?’’ tanya ayah lagi masih dengan pertanyaan yang tidak menarik itu.
“Eum… tanggal 14 februari bukan? Ada apa dengan tanggal ini dan hari ini ?’’ tanyaku penuh selidik.
‘’Astagaaa…rupanya anak ayah sudah pelupa sekarang’’ ayah menanggapi tak percaya dengan pertanyaan yang terlontar dariku.
‘’Tunggu, sepertinya ada yang mengganjal. Eum…” aku berpikir sejenak sebelum melanjutkan ucapanku.
“Ayah…aku ingat hari apa ini. Ya, ini adalah hari ulang tahunku ayah. Dan bertepatan dengan weekend yang mana kita punya jadwal untuk berkunjung ke taman bermain di pusat kota. Ayo ayah dan ibu mari kita cepat habiskan sarapan ini. Aku sudah tidak sabar untuk bermain di sana’’. Jawabku menggebu-gebu penuh semangat.
‘’Lihatlah sayang, anak kita yang pelupa sudah mengingat semuanya dan sekarang memburu-burui kita untuk menghabiskan santapan pagi ini’’ tanggapan ayah yang ditujukan pada ibu, sedang ibu hanya menjawab dengan senyuman tulus di bibirnya.
Setelah semua hidangan sarapan telah habis kami santap. Kami bergegas bersiap-siap untuk pergi ke taman bermain itu. Merasa semua telah siap berangkatlah kami menggunakan mobil pribadi. Empat puluh lima menit berlalu akhirnya kami sampai di tempat tujuan.
“Ayah, ini terlihat sangat menyenangkan’’ seruku bersemangat.
Ayah dan ibu tak menanggapi ucapanku dengan kata-kata, mereka hanya tersenyum senang melihatku yang begitu bersemangat dan bergembira. Akan tetapi, semua tak bertahan lama karena setelah itu…
Tiba-tiba aku menghentikan aktivitas berceritaku. Terdiam cukup lama sampai aku menarik nafas dalam dan menghembuskannya berat. Saat kurasa telah mampu melanjutkan bercerita, aku pun melanjutkannya. Dokter Shina? Dia telah sepakat tak akan menyela selama aku bercerita. Jadi dia hanya terdiam menungguku melanjutkan bercerita.
“Ayah! Ayah dimana? Ibu.. ibu di mana? Kemana semua orang?” aku panik mendapati semua orang menghilang seakan ditelan bumi… aku linglung dengan semua keadaan yang tiba-tiba ini. Seketika semua menjadi gelap.
Aaakh!!! Ternyata hanya sebuah mimpi. Mimpi yang mengerikan, gedikku ngeri membayangkannya. Kupikir itu terlalu nyata untuk sebuah mimpi di pagi yang cerah. Aku termenung sejenak sebelum sayup-sayup terdengar suara ibu memanggil dari arah dapur.
“Alex, ayo bangun nak waktunya kita sarapan bersama” teriak ibu memanggilku dengan suaranya yang serak seolah tak menenggak setetes air pun sejak tadi.
“Iya bu… aku akan segera ke sana” dengan malas aku melangkahkan kakiku ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sepuluh menit waktu yang kuhabiskan di sana. Keluar hanya menggunakan bathrobe dan berjalan santai menuju lemari pakaian mencari pakaian yang nyaman untuk dipakai, karena ini weekend jadi aku hanya menggunakan kaos dan celana pendek. Merasa telah siap untuk sarapan aku langsung berlari menuju ruang makan, dan benar saja di sana telah tertata rapi menu sarapan juga kedua orang tuaku yang tengah mengobrol santai sembari menungguku hadir di sana.
‘’Pagi Ayah, Ibu’’ aku menyapa mereka dengan memberikan kecupan ringan di pipi masing-masing. Jangan bertanya kenapa aku berperilaku seperti itu, karena aku anak semata wayang mereka yang selalu dipenuhi dengan kasih sayang sejak kecil, dan tak pernah sekalipun mereka menolak segala permintaanku, jadi wajar saja kalau perilakuku agak manja dan terlalu berlebihan.
Mereka merespon sapaanku dengan senyum hangat yang terukir di bibir masing-masing. Lalu melanjutkan acara sarapan kami dengan hening hanya terdengar dentingan alat makan yang saling beradu. Lima belas menit waktu berlalu, berakhir sudah sarapan kita. Sesuai kebiasaan yang selalu kami lakukan setelah sarapan di kala weekend adalah berbincang-bincang tentang aktivitas yang kami lakukan selama satu minggu penuh.
“Bagaimana sekolahmu, Alex?” ayah membuka obrolan pagi ini dengan pertanyaan yang sama setiap minggunya.
“Seperti yang ayah tahu, sekarang aku tengah berada di tingkat akhir sekolah menengah atas yang sebentar lagi akan mengikuti ujian nasional. Jadi, akhir-akhir ini aku lebih sibuk dari tahun-tahun sebelumnya. Setiap hari harus mengikuti pembelajaran tambahan dan latihan soal yang diadakan masing-masing guru mata pelajaran yang akan diujikan nantinya.” Keluhku tentang kegiatan sekolah yang cukup melelahkan .
Ayah dan ibu hanya menanggapi seadanya karena mereka sedang mencoba memahami apa yang tengah aku rasakan. Cukup lama kami berbincang di sana membahas banyak hal sampai ibu mengemukakan ide untuk menghabiskan waktu weekend dengan mengunjungi taman bermain di pusat kota. Tak ambil pusing untuk berlama-lama memikirkan ide ibu tersebut, kami menyudahi bincang-bincang itu dan pergi untuk bersiap-siap, kecuali ibu yang harus membersihkan meja makan terlebih dahulu.
“Alex…Sayang…ayo cepat nanti kita kesiangan dan tak puas bermain di sana” seru ayah yang membuatku terburu-buru merapihkan penampilanku. Setelah merasa siap untuk berangkat aku pun berjalan cepat menuju halaman rumah. Di sana sudah ada ayah dan ibu yang lagi-lagi tengah menungguku. Akan tetapi aku sedikit terkejut melihat ibu yang merengut sebal, alasanya? Apalagi kalau bukan karena ayah yang memburu-burui ibu berdandan.
“Ayolah sayang, ini sudah semakin siang” rajuk ayah pada ibu yang membuatku terkekeh melihat tingkah kedua orang dewasa tersebut. Betapa indahnya keluarga kecil ini, batinku.
Mengakhiri drama yang terjadi, kami berangkat dengan perasaan senang dan semangat yang menggebu. Perjalanan kami ditemani alunan musik yang mengalun merdu dari radio mobil. Terlalu hanyut dengan suasana menyenangkan yang terjadi selama perjalanan, kami tak menyadari warna langit telah berubah drastis menjadi gelap gulita tertutup awan mendung membuat suasana seketika mencekam dan mengerikan, menghilangkan cerahnya mentari yang menemani perjalanan kami sebelumnya. Perubahan langit yang tiba-tiba itu membuat kami merapal segala do’a memohon keselamatan. Sungguh perjalanan menuju ke tempat itu membutuhkan waktu yang lama serta melewati jalanan yang cukup terjal karena tempat tinggal kami berada di dataran tinggi.
Hujan mengguyur bumi dengan derasnya, membuat jalanan yang kami lalui menjadi licin. Tak ingin suatu hal yang di luar kehendak terjadi, ayah melajukan mobilnya mencari tempat untuk berteduh. Lima menit berlalu kami belum menemukan tempat itu, lima belas menit berlalu belum juga terlihat tempat yang tepat untuk berteduh, dua puluh menit kemudian barulah terlihat sebuah rumah besar di tepi jalan dengan pagar terbuka yang seakan mempersilahkan kami untuk memasukinya. Sesaat ayah terlihat ragu untuk menepikan mobilnya di sana, akan tetapi alam tak berpihak pada kami dan hujan mengguyur bumi semakin deras. Sedangkan cukup sulit untuk menemukan tempat seperti itu lagi mengingat jalanan yang kami lalui terjal dan menurun, sehingga ayah terpaksa menepikan mobilnya di sana, tepatnya memakirkan mobil di halaman rumah tersebut seraya berharap akan baik-baik saja dan hujan cepat reda.
Di seberang sana terlihat seseorang yang berjalan mendekat ke arah kami, samar-samar karena terhalang oleh derasnya hujan. Mendekat, dan semakin dekat dengan mobil kami. Menimbulkan kecurigaan di antara kami yang masih mencerna kedatangannya, siapa gerangan orang yang mau repot-repot mendatangi kami di tengah derasnya hujan begini??? Batinku. Terlalu asik memikirkan hal-hal yang akan terjadi, kami tak sadar seseorang itu sudah berada di dekat mobil dan mengetuk kap mobil. Melihatnya, kami terdiam mencoba berdiskusi dalam diam untuk membuka kaca jendela mobil atau tidak. Ibu yang merasa tak tega melihat orang tersebut terguyur hujan deras, memutuskan untuk membuka kaca jendela di sampingnya. langsung memperkenalkan dirinya menyadari keraguan yang nampak jelas di wajah kami .
“Saya pemilik rumah ini, mari masuk ke dalam di sini dingin” ucapnya lantang mengalahkan suara hujan.
Kami tak menjawab, hanya diam termenung memikirkan ajakannya. Sampai ia tiba-tiba menyodorkan paying kepada kami yang diterima oleh ibu selaku orang yang membukakan kaca jendela untuknya. Diam berarti setuju, mungkin itu prinsipnya sehingga kami tanpa ragu keluar dari mobil dan mengikuti Langkah kakinya menuju ke dalam rumah besar itu. Terkejut adalah kata pertama yang ada dalam benakku, sejauh mataku memandang menyapu setiap sudut rumah ini tak kudapati jejak kehidupan lain seakan rumah ini tak berpenghuni sejak lama. Dan benar saja setelah sang tuan rumah mempersilahkan kami duduk beristirahat ia beranjak meninggalkan kami menuju lebih ke dalam lagi dari bagian rumah itu. Membuat kami menunggu agak lama, ia kembali membawa coklat panas dan handuk kering untuknya dan kami seakan tiada orang lain yang bisa mempersiapkan semua itu selain dirinya. Merasa semua sudah cukup ia mendudukkan dirinya di hadapan kami.
“Aku hidup sebatang kara di sini’’ ucapnya seakan menjawab apa yang sedang aku dan orang tuaku pikirkan. Kami hanya menanggapinya dengan anggukan merasa tak pantas bertanya lebih jauh tentangnya. Akan tetapi, kami mendapat respon sebaliknya dari sang tuan rumah. Ia melanjutkan bercerita setelah menyeruput coklat panas di hadapannya.
“Aku sendirian karena tak ada orang lain yang sanggup hidup berdampingan denganku, bahkan keluargaku pun tidak. Jujur saja aku merasa kesepian.” Raut mukanya menjadi muram seakan memendam kepedihan yang sangat mendalam di sana. Lagi-lagi kami hanya terdiam tak mengeluarkan sepatah kata pun.
“Maaf, aku tak bermaksud menceritakan ini kepada kalian. Aku hanya senang karena ada orang lain yang memasuki rumah ini selain aku. Mari istirahatkan tubuh kalian terlebih dahulu tunggu sampai hujannya benar-benar reda baru kalian boleh pergi dari rumah ini. Aku akan masuk ke dalam, panggil aku jika ada yang kalian butuhkan. Perkenalkan namaku Mahendra panggil saja pak Hendra” seakan terhipnotis oleh ucapannya kami langsung terlelap seiring menghilangnya ia dari pandangan kami.
Kesadaran mendatangiku, dan sayup-sayup aku mendengar rintihan kesakitan seseorang. Tunggu! Sepertinya suara itu tidak asing di pendengaranku, ibu? Aku menerka-nerka dengan mata yang masih terpejam erat enggan untuk terbuka. Lagi, rintihan itu terdengar lagi dan lagi. Lalu disusul oleh rintihan kesakitan lain, kali ini suaranya lebih berat dibanding suara rintihan yang pertama. Ayah? Namun mataku tetap terpejam seolah tak ingin melihatku menyaksikan apa yang sebenarnya terjadi. Perlahan namun pasti aku memaksakan kedua mataku untuk terbuka karena penasaran dengan apa yang telah aku dengar sebelumnya. Seiring usahaku membuka mata, rintihan-rintihan itu tak terdengar lagi. Ke mana hilangnya suara itu? Benakku bertanya-tanya. Tuhan, lindungi kami! mohonku pada sang mahakuasa. Akhirnya mataku terbuka lebar sampai rasanya ingin keluar dari tempatnya karena shock melihat pemandangan yang ada di depanku. Di mana aku?.
Ruangan gelap dipenuhi barang tak terpakai, Gudang. Sekarang aku tersadar di dalam gudang yang hanya dihuni oleh barang-barang tak terpakai itu. Aku merasa tidak sendirian di sana karena ada suara lain yang menemani keterdiamanku, juga bau anyir yang menyengat hidungku. Lamat-lamat aku memperhatikan sekelilingku dan menemukan seseorang dengan pergerakan aneh tepat di hadapanku seolah sedang memotong-motong sesuatu, dan barulah aku tersadar bahwa bau anyir itu juga datang dari arah sana. Aku yang masih tidak mengerti tentang apa yang terjadi, memberanikan diri untuk mencari sesuatu sebagai alat membela diri. Beruntung tak jauh dari tempatku terduduk ada sebuah balok kayu, tanpa perlu berpikir panjang aku mengambilnya dengan sangat hati-hati agar tidak menimbulkan suara gaduh sedikit pun.
Perlahan aku mendekati seseorang tersebut, tanpa menimbulkan suara yang dapat menarik perhatiannya. Semakin dekat dengannya aku bias melihat jelas apa yang sedang ia lakukan. TIDAK!!!!!!
Aku terdiam, merasa tak sanggup melanjutkan cerita. Jangankan bercerita, untuk sekadar bernafas pun terasa sangat berat. Namun apalah daya aku tak kuasa melihat dokter Shina yang senantiasa mendengarkanku bercerita juga menenangkanku agar tetap melanjutkan ceritaku. Ia menyuruhku mengambil nafas dalam dan menghembuskannya seleluasa mungkin agar mendapat ketenangan. Aku siap melanjutkannya.
Teriakku tak percaya dengan semua yang ada di hadapanku, hingga seseorang yang kukenali sebagai pak Hendra itu membalikkan tubuhnya menghadapku yang tengah berdiri kaku bak patung.
“Hai nak, jangan terkejut begitu. Sebentar lagi kamu akan menyusul mereka dan semua keluargaku” jawabnya enteng sambil membawa pisau dapur di tangankanannya, yang kupastikanituadalahalatuntukmemotong-motong dan menguliti tubuh kedua orang tuaku. Ia beranjak dari tempat duduknya yang semula dan mulai mendekatkan diri padaku mencoba meraih tubuhku dengan pisau di genggamannya itu. Aku yang telah sadar sepenuhnya cukup lihai untuk menghindari serangannya, hingga tak terasa bahwa aku sudah tersudutkan. Melihat keadaanku yang tak mungkin lagi untuk menghindari serangannya tanpa membalas, aku memberanikan diri untuk melawannya menggunakan balok kayu yang sedari tadi sudah kugenggam. Mengingat apa yang telah terjadi terhadap kedua orangtuaku, aku merasa seperti ada yang mendorongku untuk bertindak lebih padanya. Aku mulai memukulnya dari bagian kaki hingga ia tak dapat berdiri, tangan hingga ia tak dapat menggenggam berakhir menjatuhkan pisaunya dan tak melewatkan kepala yang akhirnya merenggut kesadarnya kala itu.
Melihat ada kesempaatan untuk melarikan diri sebelum ia sadar dan mengejarku, aku berusaha berlari menuju pintu Gudang yang untungnya tidak terkunci. Terus berlari dan berlari sampai tak sadar aku telah berada di luar rumahnya, tidak berhenti sampai di situ aku terus berlari di bawah guyuran hujan yang cukup deras, menjauhkan diri dari rumah tersebut. Merasa cukup aman, tubuhku seolah menginstruksi untuk berhenti dan seketika kegelapan menyergapku.
Aku tersadar dengan bau alcohol dan obat-obatan yang menusuk penciumanku, rumah sakit. Kenapa aku bias berada di tempat ini? Batinku. Kusapukan pandanganku keseluruh penjuru ruangan, sepi tiada orang lain yang berada di sini selain aku. Terdengar suara derit pintu ruangan terbuka, menampakkan seorang lelaki berpakaian agak berantakan dan terlihat sedikit basah, mungkin. Tengah berjalan menghampiriku dengan tergesa setelah melihatku sadar dan banyak bergerak ingin mengganti posisi.
”Rupanya kamu sudah sadar, bagaimana keadaan mu? Apa perlu aku panggilkan dokter untuk memeriksamu?’’ tanyanya dengan raut khawatir. Namun aku beringsut berusaha menjauhinya. Ia pun terkejut dengan prilakuku yang Nampak jelas di wajah dan sorot matanya. Tak ambil pusing ia segera memanggil dokter yang sedang berjaga pada waktu itu. Sembari menunggu dokter sampai ke ruangan rawat inapku, ia membuka topik pembicaraan.
“Aku Huda, seorang supir truk yang kebetulan lewat jalan itu untuk menuju sebuah pabrik dan tak sengaja menemukanmu tergeletak tak sadarkan diri di tepi jalan di bawah rintik hujan” jelasnya padaku yang tengah termenung. Merasa tak mendapat jawaban ia ingin melanjutkan ucapannya namun tertunda oleh dokter yang sudah ada di dalam ruangan. Memeriksa kondisiku dengan seksama memastikan bahwa aku baik-baik saja.
“Setelah pemeriksaan yang kami lakukan, Ananda tidak mengalami luka berat hanya membutuhkan istirahat yang cukup”. Jelas dokter pada orang yang diketahui namanya Huda itu. Setelah mengatakan itu sang dokter pamit undur diri dan meninggalkan kami berdua dalam ruangan tersebut.
“Siapa namamu, nak? Bagaimana bias kamu berada di sana saat itu?” tanyanya penasaran namun lagi-lagi aku tidak menanggapinya sama sekali. Terdengar helaan nafas berat dari dirinya sambil berlalu meninggalkanku sendirian termenung di sana. Aku tak menanggapi pertanyaan-pertanyaan darinya karena aku masih belum bisa menerima apa yang telah aku alami sebelumnya.
Waktu makan malam pun tiba, ia kembali membawa obat-obatan untukku dan makanan untuknya karena aku sudah mendapatkan jatah makan dari rumah sakit. Tak hanya itu, ia juga membawakan baju untukku tentunya.
“Dokter bilang kamu bias keluar dari sini besok, di mana tempat tinggalmu? Aku akan mengantarkanmu ke sana” ucapnya seraya menyuapiku makan dan menyiapkan obat untukku minum. Tentu saja aku tak menolak niat baiknya karena aku sendiri sudah sangat lapar setelah tragedi itu.
“Bawa aku ke tempat di mana aku bias hidup tenang dan menceritakan semua yang kualami. Aku tidak punya rumah” ucapku di sela-sela keheningan.
“Baiklah, besok setelah semua administrasi kuselesaikan, aku akan membawamu ke tempat itu” tanpa basa-basi dia menuruti permintaanku. Kupikir ia akan menolak atau sangat keberatan untuk kumintai pertolongan, tapi kenyataannya ia bukan seseorang yang seperti itu. Dan kupikir ia merupakan seseorang yang berpendidikan karena dia tahu cara merawat orang lain dengan baik dan benar. Jadi tak ada salahnya kan, aku memintanya untuk membantuku sekali lagi, pikirku.
Keesokan harinya, aku telah keluar dari rumah sakit dan langsung menuju tempat yang ia janjikan itu kemarin. Jangan tanya apa yang aku lakukan selama perjalanan, tentunya hanya diam seperti patung yang tak bernyawa. Perjalanan yang kami tempuh cukup memakan waktu dan melelahkan, memaksaku untuk memejamkan mata kembali karena kantuk yang sudah tak dapat kutahan sejak tadi. Hingga tanpa aku sadari, kami sudah sampai di tempat yang ia maksud.
“Nak, ayo bangun. Kita sudah sampai” ucapnya sambil menepuk bahuku pelan. Yang kulihat sekarang adalah sebuah bangunan besar berwarna putih di kelilingi rumput hijau serta pepohonan yang menyejukkan mata. Ia berjalan di depanku dan aku hanya mengekorinya dari belakang. Sampai di depan suatu ruangan yang bertuliskan sebuah nama ‘dokterShina’ kami masuk ke dalam ruangan tersebut dan mendapati seorang dokter berparas cantik dan menenangkan siapa saja yang melihatnya sedang duduk manis di singgasananya.
“Hai putriku, bagaimana kabarmu? Sepertinya kau semakin terlihat kurus semenjak di sini. Apa mereka sangat menyibukkanmu sehingga kau tak sempat menyantap makananmu?’’ tanyanya tak sabar kepada dokter tersebut yang ternyata adalah putrinya sendiri.
‘’Tenangkan dirimu ayah, aku tidak apa-apa bahkan merasa sangat baik’’ timpal dokter cantik itu. Seraya pandangannya terarah kepadaku yang hanya diam mematung di sana.
“Siapa dia ayah?” tanyanya tanpa basa-basi sambil menunjukku dengan telunjuknya yang lentik.
”Aku menemukannya tak sadarkan diri di tepi jalan saat hujan deras dalam perjalananku menuju pabrik, jadi kubawa dia ke rumah sakit. Setelah dia sadar, segala pertanyaanku tak ada satu pun yang dia jawab dan hanya berkata untuk membawanya ke tempat yang tenang juga tempat di mana dia bisa membagikan ceritanya. Jadi aku berinisiatif membawanya ke sini setelah keluar dari rumah sakit’’ jelasnya kepada putrinya itu.
‘’Baiklah, aku mengerti ayah. Sekarang aku akan membawanya ke salah satu ruangan agar dia bias beristirahat di sana. Terima kasih telah mengunjungiku kali ini” jawabnya mengerti akan apa yang dimaksud ayahnya. Usai mengucapkan itu pada sang ayah, dokter cantik itu beranjak dari singgasananya dan membawaku ke ruangan yang dia maksud.
“Ini kamarmu, masuklah ke dalam” perintahnya. Setelah memastikan aku masuk ke dalam kamar tersebut dan menguncinya seakan takut aku pergi dari sana, ia melangkahkan kakinya meninggalkanku sendiri. Yang kulakukan di sana hanya merebahkan tubuhku dan membiarkan pikiranku berkelana.
“Aku dokter Shina salah satu dokter di pusat rehabilitasi ini. Salam kenal’’ ia mengulurkan tangannya mengajakku untuk berjabat tangan. Setalah hari itu, ia selalu mengunjungiku setiap dua kali dalam seminggu untuk menanyakan kabarku dan memeriksa perkembangan mentalku. Minggu berlalu menjadi bulan sampai tak kusadari sudah hampir satu tahun aku berada di sana.
Dan di sinilah aku sekarang..
Kalimat itu mengakhiri acara berceritaku pada dokter Shina. Aku melihat ada guratan bahagia di sana, karena ini adalah pertama kalinya kumenceritakan apa yang sebernarnya terjadi padaku. Karena selama aku di sini, aku hanya melakukan terapi agar traumaku pada orang asing sembuh. Dan alas an kenapa dokter Shina selalu membawa voice recorder adalah bentuk antisipasi agar saat aku tiba-tiba menceritakan apa yang terjadi dapat langsung ia rekam.
“terima kasih Alex, kau sudah mau bercerita padaku kali ini” ia sangat berterima kasih dan pergi meninggalkanku kembali dengan kesendirian dan lamunan yang membawaku berkelana di ruang imajinasi yang tentu aku ciptakan sendiri. Andai waktu dapat berputar ulang, aku akan membatalkan ide ibu untuk menghabiskan weekend di taman bermain atau membatalkan niat ayah untuk menepi di rumah tersebut dan melarang ibu membuka kaca jendela untuk pria itu. Aku mulai berandai-andai di sana menyesali semua yang telah terjadi. Tapi apalah daya semua sudah terjadi, sekuat apapun keinginan untuk mengulang waktu ia tak akan kembali walau hanya sedetik saja. Puas dengan anganku dan lamunanku, aku pun terlelap dengan sendirinya.
Keesokan harinya, aku terbangun di tempat yang sama untuk kesekian kalinya…
Kereen