Bagaimana Tasawwuf Memanusiakan Manusia, dan Menghambakan Hamba

Salah satu problematika masyarakat modern saat ini ialah sikap hidup yang mengutamakan materi (materialistik), memperturutkan hawa nafsu pada kesenangan duniawi (hedonistik), ingin menguasai semua aspek kehidupan (totaliteristik) dan hanya mempercayai rumus-rumus empiris yang bertumpu pada akal pikiran manusia.

Ini tentunya sangat berbahaya bagi kehidupan masyarakat modern itu sendiri. Kenapa? Karena ukuran kesuksesan dan keberhasilan seseorang tardapat pada apa yang telah dia dapatkan secara materi atau dengan kata lain, penghargaan atas seseorang dinilai dari nilai jual pasarannya yang tinggi. Begitu pula sebaliknya, kegagalan seseorang dinilai dari nilai jualnya yang rendah. Hal ini tentunya mengabaikan prinsip kemanusiaan (humanity), yaitu saling menghargai satu sama lain yang mana harga diri tentunya sangat mahal, sehingga tidak mungkin bisa diukur dengan materi.

Akibat yang lebih menakutkan lagi ketika seseorang berorientasi hanya pada dunia, dunia, dan dunia ialah menghalalkan segala macam cara untuk mencapai hal-hal yang menurutnya adalah kesuksesan, dan itu diukur dengan materi. Maka tak jarang kita dapati, yang sukses sesuai dengan mizan(timbangan) materi ini akan cenderung egois bahkan sombong dan terlalu berbangga diri. Adapun yang gagal, jika masih berorientasi seperti ini, akan merasa stress, kehilangan percaya diri, dan tidak akan pernah merasakan kebahagiaan.

Selanjutnya yang tak kalah mengkhawatirkan ialah timbul yang namanya alienasi yaitu keterasingan manusia pada kemanusiaan itu sendiri. Konflik sosial antar masyarakat yang sering terjadipun dan juga sedang ramai dibahas akhir-akhir ini ialah akibat kurangnya nilai kemanusiaan yang tertanam dalam diri masyarakat modern seperti misalnya kasus rasisme, pembullian, dan konflik konflik lainnya.

Itulah pentingnya bagi kita umat manusia untuk mengenal apa hakikat kemanusiaan, terutama bagi kita umat muslim dimana Agama Islam telah mengajarkan hal tersebut yang pada akhirnya akan bermuara kepada Akhlaqulkarimah atau akhlak yang mulia. Rasulullah  Shalllallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “sungguh aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak manusia”.

Untuk menjadi manusia seutuhnya, maka hal pertama yang dilakukan oleh seseorang ialah memahami hakikat yang ada pada dirinya sendiri. Siapa aku? Dari mana asalku? Dan untuk apa aku ada di dunia ini? Pertanyaan-pertanyaan filosofis tersebut mewakili akan eksistensi seseorang di dunia ini sebagai manusia, apakah hanya bersenda gurau ataukah ada hikmah di balik keberadaannya. Dan islam telah menjawab pertanyaan pertanyaan tersebut. Ilmu yang mempelajari akan hakikat manusia kemudian tuhannya inilah yang kemudian disebut dengan ilmu tasawwuf, ilmu tarekat ataupun ilmu suluk. Karena dalam perjalanan mencari kebenaran, yang dituju ialah ruhul Haq Allah Jalla Jalaluhu, yang merupakan puncak dari segala kebenaran. Dan untuk mengenali tuhan, hal pertama yang perlu diketahui oleh manusia ialah diri manusia itu sendiri. Sebagaimana seperti sebuah ungkapan yang berbunyi “barangsiapa yang mengenal dirinya maka dia telah mengenal tuhannya”.

“Siapa Aku?”

Mempertanyakan akan esensi manusia. Jika kita menilik baik ayat-ayat Alquran, hadis hadis nabawi, dan perkataan perkataan ulama, dapat disimpulkan bahwa manusia ialah 5 unsur yang terdiri dari ruh (nafkhatun rabbaniyyatun), jasad (thiniyyatun), akal, hati dan nafs. Mari kita jabarkan satu persatu.

Yang pertama yaitu ruh. Dalam QS al-Hijr ayat 28 dan 29, disitu dijelaskan bahwasanya manusia terdiri dari dua unsur pokok, yaitu ruh nurani yang merupakan nafkhatun rabbaniyatun dan jasad thiniyyatun atau tubuh kasar. Ruh ini adalah sesuatu yang murni, dikarenakan asalnya dari yang maha murni sebagaimana redaksi yang terdapat pada ayat QS al-Hijr ayat 29 mengatakan “dan telah aku tiupkan padanya ruh dari ruhku” mengindikasikan bahwa ruh merupakan nafkhatun rabbaniyyatun, sumbernya langsung dari sang Pencipta tanpa ada campur tangan ikhtiar makhluk apapun di dalamnya. Kemudian diperkuat pada surah al-Isra’ ayat 85 yang artinya “dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) mengenai ruh. Katakanlah ruh itu termasuk urusan tuhanku, sedangkan kamu hanya sedikit diberi pengetahuan”. Karena asalnya yang murni, maka potensi potensi alami yang terdapat pada ruh pun juga semuanya adalah kebaikan atau dengan kata lain bercahaya (nurani).

Kemudian jasad, yaitu tubuh kasar kita yang tercipta dari tanah. Dengan jasad, kita diberikan kemampuan untuk menggunakan anggota tubuh demi mencapai suatu tujuan yang berguna bagi kebaikan diri sendiri maupun orang lain atau sebaliknya, tujuan yang justru merugikan diri sendiri dan orang lain. Pada penciptaan jasad, disitu ada ikhtiar makhluk, dan sesuatu yang disandarkan pada makhluk tidaklah selalu murni.

Sifat tanah adalah sesuatu yang gelap, meninggalkan noda, dan kotor, sehingga potensi yang dibawa oleh jasad pun adalah sifat-sifat zhalmaniyyah atau kegelapan. Kegelapan inilah yang kemudian kita kenal dengan istilah fujur (kedurhakaan).

Jasad yang kotor ini tidak akan mampu aktif atau hidup tanpa adanya ruh di dalamnya. Maka tatkala ruh yang bersih dan murni (nurani) itu masuk kedalam jasad yang gelap dan kotor (zhalmaniy) ia akan menghadirkan/melahirkan unsur yang ketiga yaitu nafs (jiwa). Karena merupakan hasil pertemuan dari ruh dan jasad, sifat nafs ini seperti anak kecil. Imam al-Bushiri dalam salah satu bait qasidahnya yaitu burdah berkata tentang nafsu “nafsu itu seperti anak kecil yang apabila dibiarkan terus menyusu maka dia tidak akan bisa lepas darinya hingga dewasa dan apabila dipisahkan darinya maka dia akan terbiasa (untuk tidak menyusu).

Nafs merupakan kesadaran atau potensi yang terdapat pada diri manusia untuk merasakan sesuatu yang terjadi pada jasad dan ruhnya, baik itu kenikmatan, penderitaan, cinta, emosi, dan perasaan perasaan lainnya. Tugas untuk kita ialah mendidiknya, dan membimbing kemanakah emosi tersebut dipergunakan, merasa tenang dan nikmat dalam ketaatan kah, atau lalai dan menikmati kedurhakaan. Dan manusia dipersilahkan sang pencipta untuk bebas memilih atau mempergunakan nafsnya kepada hal-hal apa saja yang dikehendakinya. Kebebasan dalam memilih inilah yang merupakan ujian serta amanat dari sang pencipta kepada manusia. Sebagaimana telah dijelaskan pada surah al-Ahzab ayat 72 “Sesungguhnya kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat tersebut dan mereka khawatir tidak akan melakasanakannya, lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh”. Amanat yang dimaksud terdapat pada surah al-Kahfi ayat 29 “barang siapa yang menghendaki (keimanan) maka hendaklah dia beriman dan barangsiapa yang menghendaki (kekafiran) maka hendaklah dia kafir”.

Ketika potensi nafs yang terdapat pada diri manusia ini condong kepada kegelapan dengan memperturutkan segala keinginan hawa nafsunya, maka sifat sifat yang muncul adalah, egois, sombong, cinta dunia, rasis, penghargaan secara berlebihan kepada fisik, dan sifat-sifat buruk lainnya. Selain merugikan diri sendiri, juga tentunya merugikan orang lain. Namun apabila potensi nafs ini condong kepada sisi spiritualitas (ruh/ruhaniyah) seorang manusia, maka akan timbul sifat sama rasa, humanis, ramah, rendah hati, sadar diri, dan sifat sifat baik lainnya. Kenikmatan yang dirasakan oleh nafs tersebut bukan diukur dari materi, tetapi terdapat pada ketenangan batin, dan inilah kesenangan atau kenikmatan yang hakiki.

Banyak contoh orang-orang dengan nafs yang condong kepada thiniyyah dan di akhir hidupnya tidak satupun yang mendapatkan mendapatkan hakikat kesenangan. Begitu juga banyak contoh orang orang dan kebanyakan dari kalangan sufi yang meskipun disiksa fisiknya, hidup menderita secara materi, namun tetap merasakan ketenangan karena nafsnya yang condong kepada nurani. Dalam mendidik dan mengendalikan nafs, manusia dibekali oleh sang pencipta dua hal untuk membantunya. Yaitu akal dan hati.

Akal merupakan tempat berpikir (tafakkur), berprasangka, dan juga merupakan tempat bagi was was syaithan. Sedangkan hati merupakan mutahakkim atau pengambil keputusan atas apa yang dilakukan oleh jasad. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “bukankah di dalam jasad seseorang terdapat segumpal daging, apabila ia baik maka baik pulalah seluruh jasad dan apabila ia buruk maka buruk pulalah seluruh  jasad tersebut. Dan itu adalah hati” (Muttafaqun ‘alaih).

Setelah kita mengetahui akan esensi manusia, sekarang kita beralih kepada pertanyaan selanjutnya yaitu “dari mana dan akan kemana diriku?”, pertanyaan yang mewakili akan asal manusia berikut tugas dan tujuan dari eksistensinya di dunia ini.

Manusia berasal dari ketiadaan, menjadi ada dan diadakan oleh yang maha ada Allah Subhanahu wa ta’ala sang Pencipta. Karena berasal dari ketiadaan maka pada hakikatnya manusia memang tidak ada dan manusia yang sempurna ialah manusia yang menyadari akan ketiadaan dirinya, menafikan segala sesuatu terutama dirinya sendiri dan memalingkannya kepada yang Maha Ada. Dalam hal ini imam Jalaluddin el-Rumi berkata “pelajarilah ilmu yang membuatmu sadar akan ketiadaan dirimu”. Dengan memahami asal, tak mungkin bagi manusia merasa lebih mulia dibanding yang lainnya, karena pada hakikatnya, segala sesuatu yang melekat pada dirinya adalah ketiadaan. Semua sama di hadapan sang pencipta, dan hanya dialah yang berhak menentukan kadar kemuliaan seseorang, dalam hal ini ialah taqwa. ”inna akramakum ‘indallahi atqaakum”. Lalu apa yang menjadi tujuan dari keberadaan manusia?

Disini kita akan membahas tentang tujuan diadakannya ummat manusia, pun sekalian makhluk yang ada. Jika kita merujuk pada QS. Adz- dzariyat ayat 56

{وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ} [الذاريات : 56]

Artinya : Tidaklah aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaku.

Tujuan diciptakannya kita hanyalah semata mata untuk beribadah kepada Allah SWT. Dalam memahami ayat ini, para ulama tasawwuf kemudian menjelaskan lebih dalam lagi mengenai tujuan atau hakikat dari ibadah. Karena tidak mungkin bagi Allah SWT butuh akan ibadah. Lantas untuk apa kita beribadah? Di sisi yang lain, ayat menyatakan bahwa ibadah merupakan tujuan penciptaan kita, namun di sisi lain juga tidak mungkin bagi Allah SWT memiliki sifat butuh akan sesuatu termasuk ibadah. Ini menarik untuk kita bahas.

Yang perlu kita ketahui bahwasanya Allah SWT memiliki sifat al-wadud yaitu sifat mencintai. Dan tentunya tidak ada sesuatu yang paling ia cintai kecuali dzatnya sendiri, dengan segala keindahan, kesempurnaan, dan keagungannya. Kemudian, dari sifat inilah makhluk kemudian diciptakan untuk mencerminkan sifat sifat dan kesempurnaan Allah SWT. Bukan berarti bahwa dalam diri makhluk itu merupakan tuhan sebagaimana teori al-hulul ataupun wihdatul wujud yang menyatakan bahwa tuhan dan makhluk merupakan satu kesatuan. Dan kedua teori ini siapapun yang beri’tikad dengannya maka dihukumi kafir secara aqidah dan begitulah aqidah ahlussunnah wal-jama’ah. Akan tetapi makhluk merupakan surah atau jism yaitu bentuk kasar yang merupakan cerminan dari keagungan dan kesempurnaan serta keindahan sang pencipta.

Dan manusia merupakan makhluk yang spesial. Mengapa? Dari sekian banyak makhluk, yang mendapatkan amanah sebagai khalifah Allah di muka bumi ialah manusia. Ditambah lagi, kita diberikan hurriyatul ikhtiyar atau kebebasan memilih entah nurani ataupun zhalmani (telah dijelaskan sebelumnya) sehingga menjadikan manusia makhluk yang paling mulia diantara makhluk yang lainnya. Malaikat pun disuruh tunduk kepada kita.

Yang paling sempurna dalam mencerminkan sifat sifat tuhan ke dalam bentuk basyariyah ialah Rasulullah Muhammad SAW. Sehingga makhluk terkasih dan tercinta di sisi Allah SWT pun diri beliau bukan semata mata karena diri beliau, namun karena sifat sifat tuhan yang terdapat pada diri beliau SAW, dimana Allah SWT mencintai sifat sifatnya sendiri. Maka bagi kita umat manusia yang ingin dicintai oleh penciptanya, dan memang itulah tujuan hidup kita, maka tanamkanlah sifat sifat ketuhanan pada diri masing masing. Ia mencintai sifatnya sifatnya, dan tentu saja mencintai kita yang mencerminkan sifat sifatnya. Inilah tujuan kita diciptakan, bukan karena Allah butuh akan ibadah kita, tetapi semata mata karena Allah SWT mencintai dzatnya sendiri dengan segala kesucian dan keagungannya.

Tidak semua sifat sifat ketuhanan dapat manusia implementasikan di dalam kehidupannya. Bagaimana mungkin makhluk dengan segala keterbatasan basyariyahnya mampu mengimplementasikan sifat sifat tuhan yang dimensinya tidak terhingga, untouchable. Dalam menjalankan tugas sebagai khalifah Allah di muka bumi dan juga sebagai cerminan dari keagungan dan keindahan sang pencipta, kita diberikan contoh, suri tauladan, atau prototypedalam menjalankan tugas ini. Yaitu Rasulullah SAW. Dan sifat sifat ketuhanan yang dicerminkan oleh beliaulah yang menjadi tolok ukurnya. Bagaimana sifat rahman rahim nya tuhan tercermin jelas dalam diri beliau. Namun sifat sifat seperti al-mutakabbir (sombong) tercermin dalam diri beliau dengan sifat tawadhu’ rendah hati. Sifat al-ghaniy (kaya) tercermin dalam diri beliau melalui sifat al-iftiqar ila rabbihi (fakir/butuh akan tuhannya).

Dengan kata lain, tujuan dari eksistensi manusia di dunia ini sebenarnya adalah untuk kembali kepada asalnya, yaitu sang pencipta. Amanah yang diberikan ialah kebebasan untuk memilih antara keimanan atau kekufuran. Dan tanggung jawab inilah yang mempertegas derajat dan kedudukan manusia sebagai makhluk yang paling mulia dengan konsekuensi “gagal menanggungnya akan dicap sebagai makhluk yang paling hina”. Ulaa’ika kal-an’aami bal hum adhall (mereka itu seperti hewan, bahkan lebih sesat lagi).

Di saat seorang manusia mampu untuk menyadari akan hal hal tersebut, yaitu esensi dirinya sendiri, asal, dan tujuan dari keberadaannya, maka manusia yang lainnya tidak lagi dipandang hanya melalui fisik saja. Ada kemuliaan pada setiap individu, dan itulah yang harus dihargai. Ada potensi potensi yang luar biasa, dan itulah yang mesti dipandang. Cukup dengan prinsip sesama manusia, mereka dapat mengasihi satu sama lain, tanpa memandang ras, suku, agama, maupun kepentingan.

Lebih lanjut lagi, sikap menghargai ini bukan lagi dipandang hanya dengan sesama manusia. Tetapi cukup dengan pandangan “sama sama makhluk tuhan”, manusia dapat lebih menghargai dan memuliakan hal hal di sekitarnya. Bukan hanya sesama manusia saja, tetapi juga hewan, tumbuhan, bahkan batu, tanah, dan sekalian alam juga akan mendapat rahmat dari keberadaan seseorang tersebut. Dan seharusnya memang seperti itulah manusia dalam menjalankan tugasnya sebagai khalifatullah di muka bumi. Rasulullah SAW diutus bukan hanya rahmat bagi manusia tetapi “rahmatan lill’alamiin” rahmat bagi seluruh alam semesta. Begitulah bagaimana islam, melalui ilmu Tasawwuf dapat memanusiakan manusia, menghambakan hamba. Dengan kembali kepada asalnya, kembali kepada fitrahnya. Dan kesemuanya telah terangkum dalam diri Rasulullah SAW.

Wallahul Musta’an…

Tag Post :
Minggu-an Menulis

Bagikan Artikel ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *