Rintik-rintik hujan, akan berbeda dengan derasnya air hujan. Layaknya sebuah kertas polos sebelum engkau remas menjadi sebuah gumpalan.
Butiran tetes hujan terasa lembut jatuh pada wajah ini. Layaknya jiwa kelembutan orang pada dasarnya. Yah, karena pada dasarnya manusia itu terlahir dari jiwa yang suci, mengalahkan cahaya remang lampu temaram, dan juga lembutnya sepotong kain sutra.
Dirimu yang kukenal, ya kamu. Seseorang yang selalu menentramkan jiwa, yang selalu menjadi matahari bagi awan gelap orang sekitarnya. Setiap hari senyummu tak pernah luput terlukis indah di wajahmu. Kebaikan selalu kau tebar, sampai kulupa bahwa kau pernah bersedih.
by: pinterest.com |
Keluguanmu, keramahanmu yang dulu selalu kau tebar, kini lenyap entah siapa yang menelannya. Jauh terkubur dalam 6378 km di dalam inti bumi. Hati tidak akan pernah berubah, akan selalu lembut. Namun, tekad akan terus berubah mengikuti kerasnya kehidupan. Dan sebagai sahabatmu, aku menyesal karena tak pernah mengetahui apa penyebabnya.
Kau sekarang, menjadi awan mendung yang lebih pekat dari siapapun. Mengeluarkan petir tajam yang menakutkan sekitarmu. Mungkin memang benar kata orang, bahwasanya orang jahat lahir dari orang baik yang tersakiti. Aku selalu menampik hal itu. Aku merasa gagal menjadi orang berhargamu. Tapi, aku akan buktikan bahwasanya anggapan itu salah. Aku akan berjuang menyelamatkan jiwamu meskipun terkubur dalam panasnya inti bumi. Karena aku sadar.
Seberapa kerasnya deras hujan, pasti akan reda pada waktunya. Dan seberapa keras dan tebal gumpalan kertas itu, tidak akan terasa menyakitkan apabila dilempar tanpa menggunakan amarah.
Ini hanya masalah tentang waktu dan kesempatan. Dan biarkanlah diriku untuk menyelamatkanmu dari kelamnya kehidupan. Karena Tuhan pasti akan selalu mengutus salah satu makhluknya untuk menemani dan membantu makhluk yang lain. Dan aku yakin itu.
‘Ah, harapanku hanya menjadi harapan. Aku terlambat menyelamatkanmu. Kini tidak akan ada hujan lagi, hanya ada pelangi indah yang selalu terkenang indahnya.’, gumamku.
Setelah kubersihkan semua rumput, kupercikkan air di atas makammu. Kuberdoa, dan meletakkan buket bunga di atasnya. ‘Kamu memang sahabatku yang cantik’, lagi-lagi aku merasa sedang berbicara denganmu.
Aku telah berada di depan pemakaman. Ingin kubalikkan badan, tapi kutahan. Aku merasa menjadi orang yang paling bersalah atas kematianmu. Kenapa aku terlalu sibuk dengan belajarku, sampai aku tak tahu dirimu yang membutuhkanku untuk terus bertahan hidup. Dan akhirnya, kamu memutuskan meninggalkanku dengan rasa putus asamu atas dunia ini. Maaf dan terimakasih.