Idul Fitri, ketika kita mendengar istilah tersebut, apa yang ada dalam benak kita? Baju baru? Maaf – maafan? Makan enak? atau tradisi mudik? Yaa bisa kita katakan beberapa hal diatas merupakan sebagian istilah yang melekat pada hari raya Idul Fitri, khususnya di Indonesia. Salah satunya tradisi mudik, hal yang tidak asing lagi bagi masyarakat indonesia. Seperti yang kita ketahui bersama, mudik atau pulang kampung biasa dilakukan di hari-hari menjelang datangnya Idul Fitri, bagi mereka yang ingin berlebaran di kampung halaman tercinta, setelah sekian lama tak bersua dan sibuk akan pekerjaan dan aktivitas di kota-kota besar tempat mereka mengadu nasib, Jakarta misalkan.
Tapi bukan tradisi mudik atau pulang kampung yang akan kita bahas, yaa sesuai judul yang tertera pada bagian awal tulisan ini, hehe… kita akan membahas bagaimana Idul Fitri bisa benar-benar dimaksimalkan sebagai momentum untuk saling berdamai. Terlepas dari pro dan kontra ‘hukum’ bermaaf – maafan pada hari Idul Fitri.
Momen Idul Fitri pada tahun ini merupakan momen yang lebih spesial dari biasanya karena bertepatan dengan tahun politik, maka dengan situasi politik yang kian memanas ini, mulai dari para elit politik yang terus menerus bukan hanya beradu visi misi bahkan lebih kepada saling menjatuhkan dan saling membuka aib lawan politiknya untuk mendapat simpati dan dukungan dari masyarakat, hingga masyarakat itu sendiri yang saling hujat – menghujat dan mengelu – elukan masing – masing calon pemimpin pilihan mereka.
Maka menjadi suatu keharusan bagi para elit politik untuk duduk bersama dan mencairkan serta meredam suhu politik yang kian memanas dan mendamaikan perseteruan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Pun begitupula masyarakat yang tak kalah riweh harus menyudahi ajang saling hujat yang menjadi makanan pokok mereka sehari-hari di media sosisal pun di realita kehidupannya. Bagaimana mungkin masyarakat Indonesia khususnya kaum muslim Indonesia ‘nimbrung’ berbicara tentang perdamaian negara-negara islam, kalau umat muslim indonesia sendiri masih saling berseteru hanya karena berbeda pandangan politik sehingga melupakan apa makna dari sebuah Ukhuwah Islamiyyah.
Kabar baiknya, sebagian elit politik sudah mengambil langkah baik untuk saling memaafkan satu sama lain. Menggelar open house misalkan, beberapa tokoh politik dari berbagai parpol menggelar open house di kediaman mereka masing-masing. Seperti pak Sandiaga Uno, orang nomor dua di Ibu Kota Indonesia ini bahkan sampai melakukan ‘tour keliling’ dalam rangka halalbihalal menghadiri beberapa acara open house yang digelar oleh para tokoh politik.
Om Sandi yang juga menjabat sebagai wakil ketua dewan pembina partai Gerindra itupun mengunjungi open house yang digelar oleh sejumlah petinggi parpol seperti Megawati, SBY dan Jokowi. Hal seperti ini yang kita sama-sama harapkan, agar para petinggi partai dapat berdamai, mengeyampingkan obrolan politik dan menyatukan tujuan utama yang tak lain adalah bagaimana cara agar bangsa ini tetap eksis, maju dan sejahtera. Hal ini bisa menjadi cerminan untuk para netizen agar menyudahi perseteruan yang tak ada habisnya, untuk apa kita sibuk berdebat kusir sedangkan para tokoh yang kita bela pun sudah saling memaafkan satu dengan yang lainnya.
Jadi tak ada alasan lagi untuk saling hujat dan ejek di medsos hanya karena berbeda pandangan politik dan merasa bahwa pilihannyalah yang paling baik dan benar, tidak yang lain. Bukankah kita sebagai umat muslim sudah diingatkan oleh Gusti Allah agar tidak saling mengejek satu sama lain dan merasa lebih baik dari pada orang lain?   Sebagaimana yang telah difirmankan dalam Al-Quran Al-Karim pada surat Al-Hujarat ayat 11.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِّن قَوْمٍ عَسَى أَن يَكُونُوا خَيْراً مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاء مِّن نِّسَاء عَسَى أَن يَكُنَّ خَيْراً مِّنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الاِسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki mencela kumpulan yang lain, boleh jadi yang dicela itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan mencela kumpulan lainnya, boleh jadi yang dicela itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (QS. Al Hujuraat :11)
Jelas termaktub dalam ayat ini larangan untuk mencela sesama mukmin yang sifatnya umum, mencakup seluruh bentuk celaan, maka tak boleh bagi seorang mukmin mencela mukmin lainnya karena alasan apapun apalagi hanya karena berbeda pandangan politik semata.
Cukuplah ayat tersebut menjadi pegangan bagi kita dalam berinteraksi antar umat muslim baik di ruang publik maupun di media sosisal, agar ukhuwah kita dapat tetap terjaga dan  kian erat lagi sehingga kita dapat menjadi representasi umat muslim dunia secara utuh.
Lagi pula untuk apa perseteruan ini terus berlanjut? Apakah kita ingin hal ini terus meradang dan kian memburuk? Sehingga nantinya bukan hanya perseteruan antar netizen yang saling berkoar di medsos, tapi bisa menjadi perpecahan yang benar-benar terjadi di ruang publik. Pendukung A menyerang kubu pendukung B dan sebaliknya. Memang hal ini belum terjadi, dan bukanlah suatu hal yang berlebihan apabila kita mengatakan jika masalah ini terus berlanjut, mimpi buruk itu akan benar-benar menjadi kenyataan, menimbang dewasa ini sudah banyak presekusi yang telah dilakukan oleh beberapa oknum tidak bertanggung jawab.
Lihat bagaimana negara-negara timur tengah di luar sana bisa babak belur, masyarakatnya termakan oleh isu-isu politik, fitnah, berita-berita hoax yang pada akhirnya ada yang berujung pengkudetaan presidennya sendiri, membunuhnya bak buronan kelas kakap. Apakah kita ingin menunggu sampai negeri Indonesia tercinta ini yang keramah tamahan masyarakatnya mendunia, menjadi seperti negara-negara konflik disana yang bahkan sampai menelan ribuan bahkan jutaan korban jiwa?!
Maka pada momen Idul Fitri kali ini, marilah kita sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang saya yakin mencintai negaranya, untuk sama-sama mengalahkan ego dalam diri kita masing-masing, sebelum ego tersebut semakin besar dan benar-benar membutakan mata hati kita nantinya.
Jadi kita mulai dari diri kita masing-masing untuk tidak ikut menyebarkan berita-berita yang belum jelas kevalidannya, menghindari perdebatan dan memilih mendamaikan, berhenti mencari perbedaan dan mulailah bergandeng tangan! Agar sikap saling maaf-memaafkan pada Idul Fitri tidak hanya bertahan untuk seumur jagung saja akan tetapi dapat langgeng terus kedepannya untuk mencapai kedamaian yang hakiki.
Sebagai penutup saya akan mengutip perkataan seorang dosen fakultas hukum di Universitas Monash, pak Nadirsyah Hosen, beliau berkata :
“Kita berbeda bukan berarti kita bermusuhan, kita berbeda pada satu hal, bukan berarti kita tidak bisa bekerjasama pada hal lain. Jangan jadikan perbedaan diantara kita sebagai penghalang untuk memanusiakan kemanusiaan kita dengan adil dan beradab.”
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1439H.
Damailah Indonesiaku!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *