Peci Soekarno

Benarlah opini yang disepakati masyarakat luas tentang berpakaian. Gaya kita dalam berpakaian merupakan bentuk pengekspresian identitas dan jati diri kita. Gaya berpakaian dapat memengaruhi bagaimana orang lain memperlakukan dan menilai diri kita. Meskipun ada ungkapan yang berbunyi, “Don’t judge book by the cover (Jangan menilai buku dari sampulnya),” tidak dapat dipungkiri orang lain akan menilai apa yang tampak oleh mereka. Dengan demikian, gaya dan takah kita dalam berpakaian menjadi hal fundamental yang harus kita perhatikan. Bahkan lebih dari itu, gaya kita dalam berpakaian juga menjadi ciri khas dan identitas bangsa kita di mata bangsa lainnya.

Berkenaan dengan pakaian menjadi ciri khas dan identitas suatu bangsa, di sini penulis memberikan contoh setelan pakaian dari salah satu tokoh bangsa kita, Bapak Proklamator, yakni Ir. Soekarno atau yang akrab disapa dengan Bung Karno. Bung Karno yang merupakan presiden pertama negara kita sangat terkenal dengan kemampuannya menjadi “singa” di podium. Kemampuannya dalam berorasi berhasil membangkitkan semangat perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan kolonial Belanda saat itu. Bahkan pidatonya yang berisi kecaman terhadap kekejaman pemerintah kolonial Belanda di Indonesia, yakni Indonesia Menggugat, berhasil mengguncang dunia internasional. Orasi-orasinya saat itu juga berhasil menginspirasi tokoh-tokoh perjuangan lainnya untuk turut serta berjuang demi kemerdekaan bangsa nan tercinta ini. Dengan kemampuan berbicaranya yang demikian, Cindy Adams dalam bukunya yang berjudul An Authobiography as Told to Cindy Adams, menjuluki Bung Karno dengan julukan “Penyambung Lidah Rakyat”.

Selain kemampuannya dalam berbicara dan berorasi, Bapak Presiden kita yang pertama itu juga terkenal karena penampilannya yang nyentrik. Dalam kegiatan-kegiatan dan pertemuan-pertemuan formal, Bung Karno lekat dengan setelan jas bergaya militernya yang berpadu peci hitam. Bung karno terlihat sangat berwibawa dengan setelan yang demikian, bahkan setelan jas dan peci hitam itu seolah telah melekat dan menjadi ciri khas dirinya.

Kendati demikian, dalam acara-acara bebas dan santai, Bung Karno akan tampil apa adanya dan sangat sederhana. Segala penampilan necis tadi akan berganti dengan celana kolor putih dan kaus oblong yang sangat disukainya itu. Tak jarang ketika bersantai di seputaran Istana Negara, ia hanya menggunakan sandal, bahkan bertelanjang kaki.

Tampaknya penampilan Bung Karno yang nyentrik dan gagah itu tidak hanya dikenal oleh masyarakat Indonesia saja. Berbagai masyarakat di belahan dunia lainnya juga banyak yang kenal dengan eksentriknya pakaian Bapak Proklamator kita ini. Saking necisnya, ia pun mendapatkan julukan si “Indonesia Dandy” dari seorang professor sejarah di University of Michigan, Rudolf Mrazek, seorang pakar sejarah yang banyak menelisik sejarah Indonesia pada masa akhir penjajahan Belanda.

Necisnya penampilan Bung Karno itu ternyata juga dikenal sampai ke tempat penulis sekarang menuntut ilmu, Tanah Maghrib, Maroko. Kunjungan awal Bung Karno pada 2 Mei 1960 ke Maroko menjadi awal hubungan erat dua negara ini. Saat itu, Kerajaan Maroko yang baru menyatakan kemerdekaannya dari penjajahan Prancis pada 1956, tergerak untuk berdaulat sepenuhnya sebagaimana bangsa kita. Bung Karno menjadi pemimpin negara pertama yang mengunjungi kerajaan ini setelah menyatakan kemerdekaannya. Tak heran jika sedikit banyak masyarakat Maroko, tua ataupun muda, kenal dengan siapa itu Soekarno, lengkap dengan penampilan nyentriknya.

Di sini penulis punya pengalaman yang menarik dengan salah satu pakaian khasnya Bung Karno, yaitu peci hitam. Pagi itu ketika menuju stopan bus jurusan kampus, penulis dan empat rekan lainnya berjalan melewati pertokoan dan pasar yang pagi itu masih dibilang sepi. Hanya ada beberapa toko yang sudah buka. Hal ini wajar mengingat orang-orang Maroko yang biasanya baru memulai aktivitas mereka di jam sembilan pagi. Saat itu masih pukul delapan pagi. Jalanan juga masih lengang.

Singkatnya, saat kami berjalan melewati pertokoan yang masih tutup itu, kami berpapasan dengan salah satu petugas kebersihan, seorang bapak-bapak Maroko. Tampaknya ia berjalan dari arah rumahnya menuju hayy (perumahan) tempat kami tinggal,Irchad. Seperti biasanya, saat berpapasan, kami dahulu yang memberi salam pada si bapak itu, kemudian ia balas salam kami dengan wajah yang berseri. Tampak keramahan dari wajahnya yang sudah banyak terlihat kerutan, tanda umurnya yang tak lagi muda.

Labas alaykum? Mizyan? Ntuma min Indunisiya, yak? (Bagaimana kabar kalian? Baik, kan? Kalian dari Indonesia, ya?)” tanya si bapak itu ramah. Senang negara kami disebut-sebut, kami pun menjawab balik pertanyaan si bapak itu tadi. “Alhamdulillah, Sidi. Kulsyi Mizyan. Na’am,  Sidi. Nahnu min Indunisiya, (Alhamdulillah, Pak. Kami semua baik. Betul, Pak, kami dari Indonesia)” jawab kami hormat.

Setelah mendengar jawaban kami, tergurat senyuman di wajahnya yang ramah itu, kemudian kami saling mengucap salam perpisahan dan saling mendo’akan keselamatan. “Bissalamah, (Semoga selamat sampai tujuan)” ucapnya ramah. Tak lupa, kami balas hormat dengan do’a yang sama. Kami pun berpisah berjalan ke arah tujuan masing-masing. Belum sampai lima langkah dari tempat tadi, terdengar oleh kami seruan si bapak. Dari jauh kami menghadap ke arahnya, “Indunisiya baldatun mizyanah. Soekarno Mizyan. Thoqiyyah diyalak zuwaynah, (Indonesia negara yang indah. Soekano orangnya bagus. Pecimu itu juga bagus)” ucapnya sambil menunjuk-nunjuk ke arah peci hitam yang penulis kenakan. Kami balas seruan si bapak itu dengan senyuman, kemudian kami kembali melanjutkan perjalanan. Si bapak itu pun juga meneruskan perjalanannya.

Diri ini merasa senang dan bangga. Di samping misi penulis untuk membawa budaya bangsa Indonesia berhasil, penulis juga menaruh kagum pada kewibawaan Bapak Presiden kita yang pertama itu. Tidak hanya terkenal di kalangan bangsanya, orang-orang lain dari penjuru dunia lainnya pun mengenal ketokohan dan kekhasannya. Dari cara berpakaiannya Bung Karno, penulis juga belajar, bahwa pakaian yang kita kenakan menjadi ciri khas dan identitas bangsa kita di bangsa lain. Kekhasan itulah yang merepresentasikan nilai bangsa kita. Pakaian kita adalah marwah bangsa kita.

A. Elfadani

Kenitra, 19 Maret 2024

Nantikan promo-promo menarik di PPI Shop

Dapatkan Info-info terkini dari PPI Maroko

Tag Post :
Minggu-an Menulis

Bagikan Artikel ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *