Hal sesederhana apapun tatkala terdapat nilai-nilai pelajaran, harusnya membuat kita tak segan untuk mengambilnya, bukankah begitu rumusnya?
Sore itu angin laut di pojok Md’iq melambai menyapaku membawa lamunanku tenggelam bersama deru ombak yang menjulang. Segera kukabarkan pada percikan airnya dan pada kicau burung yang menari di atas alunan ombak, alangkah syahdunya suasana ini setelah lama tak kurasakan suasana tenang dan damai di tengah hiruk pikuk dunia yang bising penuh keluhan, ketimpangan, dan berebut menjatuhkan.
Burung-burung indah yang terbang senantiasa memanjakanku dengan sayap-sayapnya, mengitari luasnya samudera. Sesekali aku memotretnya sebagai memori nan pengingat bahwa sore ini sekawanan burung menjadi guru dari bagian episode hidupku. Ya, banyak pelajaran dari sayap-sayap burung yang terbang menjadi pemandangan sore ini, salah satunya adalah burung-burung itu menampar diriku, ia rela terbang tanpa pamrih hanya untuk sekedar memanjakan mataku. Betapa tertamparnya diriku yang senantiasa pamrih terhadap sumbangsih peranku dalam membahagiakan orang lain. Kicauan burung itu menjadi alarm bagi diriku yang entah sejak kapan lupa bahwa anugerah atau hal potensial yang diberikan tuhan sejatinya untuk kebermanfaatan pada yang lain. Burung dianugerahi tuhan dengan sayap-sayapnya bisa terbang dengan suka hati tanpa pamrih, tanpa meminta timbal balik untuk menyuguhkan keindahan bagi insan-insan yang melihatnya, sedangkan manusia yang dianugerahi tuhan dengan banyak hal mengapa harus butuh pamrih untuk menyuguhkan keindahan bagi sekelilingnya? “Ah, burung-burung itu menamparku perihal konsep ikhlas dan ketulusan. Aku harus banyak belajar dengan burung,” ucap batinku. Sore itu, konsep ikhlas dan ketulusan hadir sebagai pesan yang dicerminkan oleh sekawanan burung-burung yang menari.
Setelah itu, mentari pamit undur diri membawa senja yang terlukis di bentangan samudera, menjemput malam yang sebentar lagi akan tiba. Sebagian orang beranjak dari pesisir pantai, namun aku masih menyaksikan alunan ombak sampai mentari benar-benar tenggelam, hingga sedikit demi sedikit orang-orang berlalu lalang bergegas untuk pulang. Setelah memastikan mentari benar-benar tenggelam aku pun segera beranjak pulang.
Ke esokannya, aku berencana untuk olahraga pagi sekaligus mengunjungi Jabal Darsa, sebuah bukit yang terletak di atas kota Tetouan, yang bisa ditempuh kurang lebih 20 menit dari rumah. Setelah Solat Subuh aku mulai beranjak olahraga diiringi udara pagi bersama desiran angin-angin, lalu setelah berjalan kurang lebih 20 menit tibalah aku di Jabal Darsa disambut dengan pemandangan mentari yang mulai mengintip untuk bangun menyapa pagi. Segeralah aku duduk sejenak sambil menikmati angin pagi bersama bangunnya mentari memang sensasi yang benar-benar menenangkan.
Sambil taddabur sekeliling di atas Jabal Darsa, terlihat hamparan kota Tetouan. Aku mengamati bagaimana perlahan mentari mulai muncul. Melihat gunung-gunung yang kokoh berdiri, langit yang terhampar berdiri tanpa tiang, dan yang paling menarik perhatianku adalah daun-daun yang terus menari diterpa angin kencang.
Seketika aku beranalogi, daun-daun itu tak layu meski angin menerpa berkali-kali, barangkali manusia bisa belajar dengannya. Aku teringat sebuah motivasi indah yang berbunyi:
“Bukan perihal seberapa kencang angin menerpa daun. Namun, tentang bagaimana keikhlasan daun yang menari meski angin senantiasa menghampiri.”
Konsistensi daun yang tetap menari tidak layu saat angin datang adalah pelajaran bagi kita bagaimana ketegaran dalam hidup sekalipun cobaan menerpa. Sekencang apapun musibah yang hadir di hidup kita, jangan sampai membuat kita jatuh. Tetaplah menerima layaknya daun yang tak layu meski angin menyapu.
Kembali aku menyadari bahwa pelajaran-pelajaran hidup banyak sekali ditemukan pada hal sederhana yang ada di sekeliling kita. Sesederhana itu. Kadang hal-hal yang kita anggap remeh justru menyimpan sejuta makna yang berarti dalam kehidupan ini.
Seperti cerita yang masyhur yang dialami oleh ulama besar asal Mesir Syekh Ibnu Hajr Al-Asqalani pengarang kitab Fath al Bari. Beliau dilahirkan pada tahun 773 H/1372 M bernama lengkap Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad bin Hajar. Beliau merupakan ahli hadis dari Mazhab Syafi’i yang mempunyai cerita hidup menarik.
Pada mulanya saat Ibnu Hajar kecil belajar di sebuah pondok atau madrasah, ia dikenal sebagai seorang santri yang bodoh dan selalu tertinggal dari teman temannya meskipun sudah lama belajar ia belum juga paham. Kondisi inilah yang membuat ia patah semangat hingga memutuskan pulang ke rumah kakaknya. Ketika saat perjalanan pulang, hujan turun dengan lebat, memaksanya berteduh di sebuah gua. Di dalam gua ia mendengar suara gemercik air, lalu ia datangi suara itu. Ternyata suara itu berasal dari percikan air yang menetes di sebuah bongkahan batu yang sangat besar. Batu besar tersebut ternyata sudah berlubang karena bertahun-tahun terkena tetesan air. Melihat batu tersebut berlubang karena tetesan air, membuat Syekh Ibnu Hajar termenung. Ia berpikir, batu yang besar dan keras saja lama-lama berlubang karena tetesan air, kenapa aku kalah dengan batu? Padahal akalku tak sekeras batu, menandakan kurang lamanya akal diasah seperti lamanya batu terkena tetesan air.
Hingga setelah kejadian itu, beliau memutuskan tidak jadi pulang dan kembali ke pondok untuk belajar dengan semangat yang membara hingga membuat beliau menjadi ulama yang sangat alim mempunyai banyak karya kitab, dan karena kejadian batu ini pula beliau di juluki “Ibnu Hajar” yang berarti anaknya batu.
Benang merah yang dapat kita ambil adalah pelajaran bukan hanya di bangku sekolah. Namun, kadang ia hadir di sekeliling kita mulai dari hal-hal sederhana yang acapkali kita pandang sebelah mata, maka teruslah berbenah, mengoreksi diri dalam menjalani kehidupan yang penuh teka teki.
Sengatan mentari langsung menyadarkanku yang nyenyak merenungi daun-daun yang menari, menandakan pagi sudah benar-benar terang, hingga membuatku beranjak pulang dengan membawa pelajaran, bahwa dalam kehidupan tidak ada alasan untuk tidak belajar karena:
لاتكف ابدا عن التعلم لأن الحياة لا تكف عن إعطاءالدروس
“Jangan pernah berhenti belajar, karena hidup tidak pernah berhenti memberi pelajaran”.
Nantikan promo-promo menarik di PPI Shop
Dapatkan Info-info terkini dari PPI Maroko