Aku Bukan Mubtada
Toko buku sedang sepi. Aku mengambil buku kecil dari loker di bawah meja. Terlihat berdebu dengan sampul yang sudah agak koyak. Mulai membuka.
Halaman pertama, hanya berisi nama dan beberapa hiasan yang sedikit meramu ingatan di masa lalu. Juga tanggal yang menunjukkan kapan buku itu pertama ditulis.
Halaman kedua. ‘Mana yang lebih kau suka? jumlah Ismiyah atau fi’liyah?‘ Pertanyaan ini mungkin aneh bagimu. Yang mengintervensikan tata bahasa Arab dengan kehidupan. Tapi pertanyaan itu tidak akan aneh untuk orang satu ini. Si pemilik buku.
Saat pertama kali melihatnya, semua orang pasti akan terheran-heran. Kau akan melihatnya selalu mendekap satu kitab kusam tebal dan satu kamus yang lebih tebal di dadanya. Dan kau akan melihat mulutnya selalu berkomat-kamit saat dia berjalan, seakan dia berbicara sendiri. Dan jangan tanya kenapa, atau apa yang dia baca. Bahkan setelah menjadi imam sholat dzuhur pun bukan wirid yang ia baca, tapi beberapa potong nadzom kitab klasik yang berjudul Alfiyah. Dia sangat tergila-gila dengan satu pelajaran ini.
Tak jarang pula ia menjadi objek ghibah para ustadzah lajang di pesantren. Dan selalu saja sama apa yang mereka katakan ‘Salman itu, tampan tapi aneh’.
Dahulu dia pernah menjamuku saat aku sedang jengkel kedinginan terjebak di antara hujan. Dia datang dengan satu tangan membawa payung dan yang lain tetap setia mendekap dua buku tebal di dadanya. Saat itu, dia adalah cerah yang datang tak terduga. Aku sempat berkenalan dengan adik dan ibunya, lalu menikmati teh hangat dengan suasana yang tak kalah hangat. Melihat-lihat rumah yang penuh dengan lukisan kaligrafi buatannya.
“Itu tulisan diwani, sangat rumit tapi lebih fleksibel, mudah dibentuk dan tampak elegan” Jelasnya walau aku tak bertanya.
Aku hanya mengangguk-angguk, sambil menikmati secangkir teh hangat yang ia buatkan.
“Yang itu kesukaanku, riq’ah. Sederhana, sangat menawan. Tapi mungkin akan sulit dimengerti bagi yang belum memahami” Jelasnya singkat sambil menunjuk lukisan yang paling besar.
Aku tertawa kecil. Ternyata dia enak juga diajak bicara. Dia juga pandai memersonifikasi.
Sejak saat itu aku selalu suka saat bicara dengannya. Kami sering kali berjalan bersama di lorong pesantren, lalu melambaikan tangan untuk berpisah di depan kelas. Gosip pasti akan selalu ada. ‘Salma dan Salman, bahkan nama kalian sudah berpadu dalam akar kata yang satu’ begitu kata mereka.
Halaman ketiga. ‘Tidak, dia bukan hanya taukid. Yang bisa kau lupakan saat dia tak dibutuhkan’ tulisnya disitu. Itu mengingatkan percakapan ringan kami dahulu. Saat dia tiba-tiba bertanya. “Menurutmu seperti apa Adam melihat Hawa?”
“Emm, mungkin taukid” Jawabku singkat.
Dia tertawa dengan lebat, seakan itu adalah humor yang sangat lucu.
Halaman keempat. ‘Adam adalah mubtada dan Hawa adalah khobar, mereka memang harusnya bersama, membentuk kalam, merangkai diksi yang indah bersama’ Itu adalah jawabannya saat itu. Sebelum dia pamit pulang, mengayuh sepeda usang dengan keranjang berkarat di depannya, tempat dia menaruh dua kitab tebal yang selalu ia bawa. Dan aku saat itu belum sadar, itu adalah sebuah perpisahan. Pisah yang entah sebuah titik di akhir kisah, atau sebuah athaf yang menghubungkan dua cerita.
Halaman kelima. ‘Tidak ada badal yang bisa menggantimu, atau keterangan di akhir kalam yang bisa menggambarkan keindahanmu. Setidaknya untuk waktu ini dan waktu yang telah lampau, Salma’. Saat membaca itu pertama kali, aku tersadar, aku memang sangat naif. Andai rasa saat itu menjelma menjadi sebuah rangkaian kata, aku akan lebih memahami sebuah makna. Tapi aku adalah Salma, yang sulit untuk memahami hal-hal yang rumit.
Saat itu ruang guru sepi. Aku belum melihatnya hari ini. Setelah tiga hari aku mengambil cuti, ini hari pertama aku mengajar kembali. Di mejanya ada beberapa buku yang mungkin dia lupa membawanya, termasuk dua kitab tebal yang selalu ia bawa. Setelah lancang membaca buku kecil itu, aku memasukkan semua buku ke dalam tas pinggangku. Berniat ke rumahnya mengembalikan buku-buku itu.
Halaman keenam. ‘Tidak, kau memang bukan khobar dan aku bukan mubtada, mereka berdua selalu bersama. Sedangkan kita berjarak, tak bisa bersua atau sekadar bertukar kabar. Kita bahkan saling tak acuh dalam rasa yang tak bersuara—aku bukan mubtada‘. Aku terpatung di depan rumahnya. Rumah terkunci. Pagar tertutup. Hujan saat itu turun. Memudarkan jejak-jejak aliran yang terukir oleh air mata. Haruskah kita berpisah seperti ini? Tanpa membungkukkan selamat jalan. Atau sekedar melambai untuk meresmikan sebuah perpisahan. Hujan masih senantiasa mengguyur, aku berjalan pulang dengan hancur. Kali ini mungkin tidak ada cerah yang akan menjamu. Atau sekadar membuatkan secangkir teh, menciptakan kehangatan seperti dahulu.
Halaman ketujuh. ‘Tapi kau adalah fa’il dan aku adalah fi’il. Jika kau tidak ada di sampingku secara dzohir, setidaknya kau akan selalu ada di hatiku secara dhomir’ tulisnya. Namun, hanya kosong yang mengisi lembar-lembar berikutnya. Agaknya dia mempersilakanku merangkai kalamku sendiri, menghadirkan mubtada dengan Khobar, atau menautkan beberapa tamanni dalam sebuah diksi. Versiku mungkin agak kasar, dia mempersilakanku melupakannya dan dia melupakanku. Halaman sebelumnya hanyalah sebagian kecil dari seluruh lembaran hidupnya. Aku tak pernah tau apa-apa tentang dia, sejak pisah yang congkah itu berada di antara kami. Tapi secangkir teh dengan kehangatannya saat itu, selalu bisa kutemui setiap kubaca buku ini.
Tiba-tiba seorang pria menghampiri tempat dudukku. Menghancurkan seluruh lamunanku. Aku melihatnya. Tidak salah lagi.
“Aku sudah berkeliling ke banyak toko buku, tapi aku tak menemukan buku yang kucari” Ucapnya dengan senyum yang tak bisa digambarkan kalam.
Aku tersenyum “Apakah buku tentang kisah fi’il dan fa’il?” Tanyaku.
Jangan lupa mampir ke koleksi buku- buku dan kitab-kitab di Perpustakaan PPI Maroko dan download langsung PDF nya : https://ppimaroko.or.id/perpustakaan/
Saksikan video-video keseruan even PPI Maroko : https://www.youtube.com/@PPIMarokoOfficial